Kamis, 26 April 2012

Sesuatu yang Kutahu



Di sinilah aku, berdiri di atas tanah ini selama bertahun-tahun, di sudut lapang sebuah sekolah terbaik di kota Kabupaten Cianjur. Di sudut lainnya tepat di depanku, ada kawanku yang berdiri lebih tinggi dan kokoh, dan seharusnya di samping lapang voli juga ada sejenis aku yang lain, tapi setahun lalu saat kepala sekolah diganti, dia di musnahkan, entah karena sudah tua atau alasan apa.
Aku berdiri di sini sejak lama, entah sejak sekolah ini berdiri atau sebelumnya. Selama itu, banyak kejadian yang telah kusaksikan. Setiap tahun berganti, siswa datang dan pergi membawa cerita masing-masing. Ada yang menangis di bawah dahanku, ada yang tertawa di bawah rindang daunku, ada yang bersembunyi di balik badanku dan ada pula yang berbunga seperti merahnya bungaku. Aku melihatnya dan hanya menjadi saksi bisu bagi para manusia itu. Tak ada yang pernah mengingat keberadaanku selama mereka 3 tahun menuntut ilmu di sini, kecuali ketika mereka perpisahan akan mengambil foto bersama di bawah daun dan bungaku. Baru-baru ini juga mereka lebih memilih berfoto di depan gerbang yang elegan dibanding di bawah dahan-dahanku. Manusia memberi kami nama Plamboyan.
Hari minggu pagi matahari mengantarkan sinarnya pada hijaunya daunku agar aku bisa makan dengan cara fotosintesis. Sekolah sepi dari hiruk pikuk manusia karena hari libur. Pagi ini ada 4 orang wanita yang datang ke sekolah. Sepertinya bukan siswa tahun ini karena wajahnya tidak muda lagi, bukan juga guru atau karyawan, mungkin mereka pernah bersekolah di sini di tahun sebelum-sebelumnya. Mereka berkeliling mengitari setiap sudut sekolah. Angin membawa suara mereka padaku.
“ Tuh kan bener yang aku bilang, Plamboyan ini gak pernah berbunga bersamaan, yang sana berbunga dan yang ini hanya hijau dengan daun”. Salah satu dari mereka berbicara dan menunjuk ke arahku, dia berkacamata dan memakai kerudung putih, mereka di bawah kawanku.
“ Dan kalau plamboyan yang di lapangan bawah itu masih ada, pasti dia sedang gugur”.W anita itu menambahkan dengan suaranya yang terdengar sedikit sendu. Aku takjub, ternyata ada juga yang memperhatikan kami para pohon plamboyan, sampai dia tahu bahwa kami berbunga tak pernah bersamaan. Bahkan dia ingat dengan kawanku yang sudah tiada. Aku penasaran siapa dia sebenarnya.
“ Ayo cepetan, katanya mau foto-foto dibawahnya, keburu siang nih.” Wanita yang lain menanggapi. Kemudian mereka berpose diatas akar kawanku yang menyembul di atas tanah. Wanita yang berkacamata itu melihat ke arahku, dia membidikan kameranya beberapa kali padaku dari berbagai sudut. Kubisikan kata padanya melalui angin, ‘Mendekatlah ke arahku sehingga aku bisa merasakanmu lebih dekat’. Dia seperti bisa mendengar dengan hati, kakinya mendekat ke arahku. Dia duduk di atas batu di bawah dahan dan daunku sementara kawannya masih jauh disana. Aku mengenalnya, aku ingat siapa dia. Dulu saat masih memakai putih abu, dia selalu bercerita tentang cinta dan apapun padaku. Ya, kalau tak ada ketiga temannya mungkin dia akan melakukan hal yang sama, berbisik dan mengajakku berbicara. Sudah sangat lama, mungkin sekitar 10 kali bungaku mekar dan gugur.
“ Aku jatuh cinta sama kakak kelasku, dia orang yang tampan dan pintar, meski kata teman-temanku dia jutek tapi aku suka padanya.” Suatu hari diwaktu dulu, dia berbisik padaku dan menyembunyikan tubuhnya yang tambun dibalik batangku yang dua kali lebih besar dari tubuhnya. Jika manusia yang lain melihat kelakuannya mungkin akan mencap dia gila, untung hanya aku yang tahu. Dia melihat ke arah kelas di depan pohon Plamboyan yang kini sudah tiada. Di bawah kawanku itu ada seorang siswa putra yang sedang berbicara dengan dua orang gadis.
“Kayaknya aku mesti ganti kacamata, aku gak bisa lihat dengan jelas siapa cewek- cewek yang ngobrol sama Kak Bayu disana. Apa mungkin salah satu dari mereka itu pacarnya?”. Dengan resah dia berbisik lagi. Aku merasakan aura kebimbangan dalam dirinya.
“Mereka datang!” pekiknya dengan suara tertahan. Gadis itu panik dan semakin menyembunyikan tubuhnya di balik badanku. Saat mereka dekat dan tepat di bawah daun dan dahanku gadis itu mengusap dada dengan lega. Itulah pertama kali dia berbicara padaku.
“ Ah ternyata kalian, kupikir kalian tuh pacarnya Kak Bayu”. Dia bercerita menyatakan kekhawatirannya pada kedua gadis tadi, yang ternyata sahabatnya.
“ Hahahaaha..Aduh tenanglah Si, Kak Bayu itu belum punya pacar, tadi dia bilang kalau dia sakit selama seminggu ini.” Kata salah satu sahabatnya seraya tertawa geli.
“Hah!..Pantes aja aku ga pernah liat dia lewat depan kelas kita, trus sekarang gimana, dia baik-baik aja kan?” Tanya gadis yang dipanggil Si. Aku ingat namanya Shasi, dia pernah mengukir namanya di salah satu dahanku.
“ Ya, iyalah.. kalo masih sakit mah, dia ga bakal sekolah kale”. Jawab satu sahabatnya lagi sambil tertawa dan berlari, gadis itu pergi dariku mengejar sahabatnya menuju kelas yang berada tak jauh dariku.
“ Kalian cerita dong tadi ngobrol apalagi sama Kak Bayu” suaranya masih terdengar lewat bisikan angin. Aku ingat sekarang siapa gadis ini, waktu itu dia salah satu manusia yang paling sering menghabiskan waktunya di bawah rindang dan teduhnya diriku, bahkan lebih sering dari tukang kebun yang setiap hari membersihkan daun dan bungaku yang jatuh. Dan seperti yang sudah kubilang, dia satu-satunya manusia yang berkomunikasi denganku, percaya bahwa aku hidup dan bisa mendengar semua ceritanya. Apa kabar dengannya hari ini?. Sekarang dia bukan gadis remaja lagi tapi masih mempunyai aura yang sama seperti dulu, penuh cinta dan penantian. Ayolah berbisik padaku dan bercerita kemana saja selama setelah pergi dari sekolah ini.
“Aku ga bisa sering-sering pulang ke Cianjur dan menikmati udara segar seperti ini. Jakarta penuh dengan polusi dan debu.” Dia berkata pada kawannya seolah menjawab tanyaku.
“Iya, makanya ayo foto-foto yang banyak, kita juga yang di Cianjur jarang bisa sering-sering ke sekolah. Ayo kamu pose disana” kata salah satu sahabatnya mendorong tubuh Shasi mendekat padaku. Gadis itu menarik nafas panjang, aku pernah merasakan perasaaan ini sebelumnya ketika dulu.
“ Kak Bayu kelas tiga dan aku kelas dua, dia hampir lulus dari sekolah ini. Aku menyukai Kak Bayu sejak dari kelas satu, dia gak pernah tahu kalau aku suka sama dia.” Dulu dia pernah berbisik padaku dengan perasaan sedih namun gembira, rasanya itu seperti sekarang ini saat dia sedang menarik nafas.
“Tapi ga papa, meski dia gak tahu, aku sudah puas hanya dengan melihatnya. Aku pernah berharap andaikan kamu bisa bicara, tolong bisikkan pada Kak Bayu kalau aku suka dia. Mungkin harapan yang gila, bahkan dengan aku berbicara padamu seperti ini juga sudah cukup gila.” Dia menikmati angin dan menengadahkan wajahnya melihat ranting-ranting dan daunku. Kujatuhkan bunga merah di atas matanya yang dilapisi kacamata, kemudian dia tersenyum sambil memungut bungaku dan memasukkannya ke dalam saku baju seragamnya. Setiap senja saat sekolah sudah sepi, dia sering duduk bersandar padaku menikmati angin.
“Plamboyan aku sebel banget deh sama Kak Bayu. Kemarin siang waktu aku latihan Pramuka dia marah karena Aku dan Rani datang terlambat. Dihukum harus sit jump sih aku terima, tapi omongannya itu aneh. Dia bilang “kalau masuk Pramuka alesannya Cuma pengen PeDeKaTe sama Kakak kelas sih jadinya gini, kurang disiplin dan sembarangan”. Kenapa dia ngomong gitu yah. Jangan-jangan dia tahu sesuatu?” Suatu senja yang kelabu dia datang padaku dengan penuh kebimbangan.
“Aku pernah cerita padamu pohon, alasan aku masuk ektrakurikuler Pramuka hanya untuk bisa lebih dekat sama Kak Bayu, bahkan masuk ke SMA ini juga karena dia. Tapi sungguh, aku Cuma bilang ini sama kamu. Aku gak pernah bilang sama siapapun, tapi kenapa kak Bayu kayak nyindir aku yah, apa akunya yang terlalu sensitif” Shasi termenung lagi, sepertinya dia melewati hari ini kurang baik.
“ Aku ingin diberi kekuatan untuk menyatakan cinta pada Kak Bayu sebelum dia meninggalkan sekolah, karena tak banyak lagi waktu tersisa sebelum wisuda. Tapi semua itu tak pernah bisa. Aku selalu takut karena aku wanita, tak pantas menyatakan cinta lebih dulu. Atau alasan yang lebih pasti adalah bahwa aku tahu Kak Bayu tak pernah menyukaiku sehingga kalau aku bilang menyukainya maka aku akan mendapat jawaban yang mengecewakan.” Dia berbicara sambil menundukkan kepala dan mengais-ngais akarku dengan ranting yang telah kering. Waktu itu dia tidak sendiri, disampingnya ada salah satu sahabatnya yang bernama Septi.
“Jujur, sebenernya tanpa kamu tahu, aku dah minta tolong Kak Ahmad soal kamu dan Kak Bayu. Kak Ahmad itu bukan cuma sekelas sama Kak Bayu, tapi sebangku, jadi kita bisa cari tahu banyak dari dia. Dan kemarin dia bilang sesuatu soal kamu ke Kak Bayu. Aku ga bisa cerita jelas. Nanti aja kita ngobrol sama kang Ahmad gimana hasilnya” Jawab Septi penuh kehati-hatian.
“Aduh Ti, kamu bilang-bilang sama Kak Ahmad kalau aku suka sama Kak bayu?. Kamu kan dah janji kalau ini rahasia.” Shasi tampak Resah.
“Kami cuma bantuin kamu aja nyampein perasanmu ke Kak Bayu. Abis kamu tuh yah, dipendem aja tuh rasa cinta, bisa karatan nanti” Melihat ekspresi Shasi, sahabatnya berusaha menyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Mungkin saatnya semua orang tahu tentang perasaan Shasi ke Kak Bayu itu, bukan hanya aku atau ketiga sahabatnya saja.
“Tenang, tuh dia Kak Ahmad” Septi menunjuk seorang siswa yang tengah berjalan mendekati tempatku berdiri.
“Gimana Kak?, hasilnya gimana yang kita omongin kemaren” Tanya Septi tak sabar, sedang Shasi entah apa yang ada dipikirannya. Siswa yang dipanggil Kak Ahmad melihat Septi pacarnya, kemudian menatap Shasi. Seperti berat untuk berkata.
“Gimana kalau bicaranya di rumah Shasi aja, deket kan dari sekolah?. Ceritanya lumayan panjang.” Jawab Kang Ahmad sambil menghembuskan nafas.
“Oke kalau gitu kita pergi sekarang” jawab Shasi kemudian mereka pergi. Aku sedikit kecewa mengapa tidak di sini saja, di bawah daun-daunku mereka bercerita. Aku tak pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Dan sejak itu gadis berkacamata itu tak pernah bercerita padaku lagi bahkan sampai dia pergi dari sekolah ini. Beberapa hari sejak itu , dalam senja dia hanya bersandar padaku sambil menutup mata tanpa berkata apapun. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya antara dia dan Kak Bayu itu.
“Dah siang nih, yuk kita balik, kamu dah ngambil banyak foto kan.” Gadis yang berbadan kecil mengajak untuk pergi.
“ Ok, udah cukup. Sekolah kita tambah keren aja yah, keliatan bagus di kamera. Ga usah jauh-jauh nyari pemandangan bagus sampe ke taman bunga.” Gadis yang lebih tinggi masih asyik dengan handponenya melihat foto dirinya bersamaku.
“ Yuk pulang” sahabat Shasi yang satunya seperti tidak sabar untuk cepat pergi, padahal aku masih ingin bersama Shasi, ingin mendengarkan dia berbicara padaku. Dan juga ada sesuatu yang harus dia tahu dariku tentang manusia bernama Kak Bayu itu, tapi bagaimana cara aku menahannya untuk tetap disini. Aku bukan binatang yang bisa mencari perhatian dengan gerakan atau suara untuk berkomunikasi dengan manusia. Meski aku punya perasaan dan bisa menjadi saksi kelak di hari akhir saat Tuhan meminta pertanggung jawaban atas kelakuan manusia, tetap saja aku hanya tumbuhan yang dirasa manusia seolah tidak hidup karena tidak bernyawa. Bagaimana caranya agar gadis yang bernama Shasi itu tahu sebuah rahasia yang aku tahu.
Dua sahabat Shasi telah lebih dulu beranjak pergi menjauh dariku, tinggal Shasi dan satu sahabatnya. Mungkin aku harus meminta bantuan angin untuk mencari perhatian Shasi.
“Waktu aku baca novel karyamu, sekarang aku tahu kenapa kemarin tiba-tiba kamu pengen ke sekolah trus ngambil foto pohon Plamboyan. Kamu punya banyak kenangan disini kan” Sahabatnya yang sedari tadi sibuk dengan handponenya angkat bicara. Shasi tersenyum.
“Plamboyan ini lebih dari sahabatku.Tepatnya semua pohon Plamboyan yang ada di sekolah ini adalah sahabatku.” Aku benar-benar bisa mendengar kerinduan dalam suaranya.
“Waktu kelas satu, aku sering menunggu Kak Bayu di bawah pohon Plamboyan itu, karena kelasnya tepat di depan pohon itu” Shasi menunjuk kawanku yang berdiri lebih kokoh dan lebih tua dariku. Aku bisa mengingatnya karena setelah senja dia akan bercerita padaku bahwa tadi siang dia menungu Kak Bayu untuk memberikan laporan soal ujian Bantara, sebuah tingkatan dalam Ekstrakurikuler Pramuka.
“ Waktu kelas dua, kelas kita disana kan.” Shasi menunjuk ruang kelas yang jaraknya hanya beberapa meter ke arah barat dariku.
“Tiap istirahat aku sering duduk disini, juga sore hari atau hari libur waktu rumahku masih di samping sekolah.” Saat itulah dia sering bercerita padaku tentang apapun, dan berkata ‘andai kamu sedikit lebih pendek maka aku akan berada di puncak dahanmu, kamu terlalu tinggi jadi kalau aku naik takut ga bisa turun”.
“Dan di pohon Plamboyan yang sekarang tidak ada, itu di depan kelas Kak Bayu, aku sering melihat dia duduk di bawah pohon sedang membaca buku atau bercanda dengan temannya.” Kini suara Shasi terdengar lebih pelan dan hampa.
“HEY….Kalian ngapain sih masih disini, cepetan pulang, ditungguin dari tadi juga” Sahabat Shasi yang tadi pergi kembali lagi, dia tampak kesal. Dan akhirnya Shasi yang menjadikan aku sahabatnya pergi juga. Dalam langkahnya dia kembali menoleh ke arahku, dengan bantuan angin kuterbangkan satu bunga menuju tangannya. Dia tersenyum dan menyimpan bungaku ke dalam dompetnya.
Senja di hari ini juga, seorang lelaki memasuki sekolah dan berbicara sebentar dengan penjaga sekolah. Bukan siswa atau guru. Dia pergi ke arah timur, kemudian berhenti sejenak, sepertinya mencari sesuatu yang hilang. Dia berbalik ke arah barat melihatku, kemudian melangkah mendekatiku. Di atas akarku dia berdiri sigap, meniup kedua telapak tangannya kemudian menaiki dahan dan batang hingga menuju puncak tertinggi bersembunyi dibalik dedaunan. Tubuhnya bersandar pada dahanku, setengah terlentang seolah dia tidur di atas permadani. Dia memejamkan matanya kemudian menarik nafas panjang. Ini pertama kalinya setelah bungaku 10 kali bersemi dan gugur, dia kembali berbaring di atas dahanku. Di masa sebelumnya saat dia masih remaja, aku dan dia setiap hari mendengarkan seorang gadis bercerita pada sebuah pohon sepertiku tentang cinta pertamanya. Gadis itu adalah Shasi dan cinta pertamanya itu adalah Bayu, seorang yang sedang melamun di atas dahanku.
“Lama tak jumpa pohon” Dia menepuk dahanku dengan lembut.
“ Apa dia masih suka cerita padamu?. Pasti tidak lagi kan?. Dulu aku bilang pada sahabatku untuk menyampaikan padanya kalau aku tak bisa nerima dia karena harus fokus belajar demi mengejar cita-citaku, kalau jodoh kami pasti jumpa lagi. Mungkin karena itulah kenapa dia tak pernah lagi bicara padamu, dia hanya diam dalam senja di bawahmu dan aku.” Lelaki itu bicara padaku tentang sesuatu yang aku tak tahu waktu dulu.
“Fokus belajar bukan alasan klise, bukan penolakan halus seperti yang dia bilang. Semua demi cita-citaku menjadi seorang dokter.” Dia menghembuskan napas dengan kuat. Aku merasakan aura kerinduan dalam dirinya.
“ Apa mungkin kami tidak berjodoh, hingga sampai kini aku tak bisa bertemu dia lagi?” Lelaki itu memejamkan mata menikmati angin. Kujatuhkan kelopak bungaku pada wajahnya.
Aku tak bisa menjawab apa yang dia tanyakan, meski aku tahu sesuatu tentang dia dan gadis yang dia bicarakan. Aku tak punya kuasa untuk berbicara meski aku adalah saksi tentang sesuatu yang aku tahu. Tunggu saja wahai manusia, Yang Maha Pencipta lebih tahu daripada aku, atas sesuatu yang aku tahu tapi kau tidak tahu.
SELESAI